Hiduplah Indonesia Raya (2)

Immanuela Asa Rahadini
2 min readAug 19, 2022

Esai ini adalah bagian kedua dari rangkaian esai “Hiduplah Indonesia Raya”. Silakan baca bagian pertama di sini.

Sumber penghidupan

Tanah Indonesia, seperti yang kita lihat di bagian pertama, memang sangat kaya dan berharga. Kedua-duanya bukan sekadar pujian manis belaka. Faktanya, pernyataan mengenai kekayaan tanah Indonesia diulang-ulang di pelbagai bagian berbeda dalam lagu ini. Kekayaan materiil Indonesia secara erat berhubungan dengan manusia Indonesia sebagai sumber penghidupan mereka yang utama. Tanpa tanah Indonesia, manusia Indonesia tidak memiliki ruh, nafas kehidupan yang menjadi awal eksistensinya. Dalam stanza pertama:

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

“Tanah” dan “negeri” menjadi titik awal sebelum seruan yang mengelu-elukan “bangsa, rakyat”, dan bahkan ajakan untuk membangun “jiwa” dan raga bangsa. Dengan kata lain, ada sebuah proses linear dalam pembentukan Indonesia: sebelum tanah Indonesia ini diusahakan secara maksimal, rakyat Indonesia akan sulit untuk ber-ada (dalam artian eksistensial) dan berada (dalam artian material); berkembangnya Manusia Indonesia dimulai dari berkembang dan dirawatnya tanah Indonesia.

Jadi poin ketiga saya adalah: tanah Indonesia adalah modal awal terbangunnya bangsa dan rakyat. Tanpa pengelolaan yang baik, yang meng-”hidup”-kan tanah, ruh dan raga Negara Indonesia akan sulit tercipta.

Photo by Ramadhani Rafid on Unsplash

Hal ini juga dapat kita lihat di stanza kedua:

Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya, semuanya
Sadarlah hatinya, sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

Saya rasa penggambaran jiwa sebagai suatu hal yang “subur” memang unik, karena jiwa ialah abstrak sementara kesuburan umumnya berkaitan dengan hasil material. Namun, menurut saya, inilah alasan mengapa stanza ini mendoakan kesuburan tanah dan jiwa secara berurutan: dari tanah yang subur, ada jiwa yang subur. Dengan kata lain, tanah yang baik niscaya menghasilkan buah-buah kebaikan.

Seperti yang telah saya uraikan dalam bagian pertama, saya rasa WR Supratman amat terpesona oleh keindahan, kesucian, kecukupan tanah Indonesia sampai-sampai ia berulang-ulang menyaksikannya dalam lagu. Tapi tak hanya berhenti di situ, pengalaman keberlimpahan hidup di tanah Indonesia memiliki potensi untuk menumbuhkan insan-insan bangsa yang berhati lapang, berbudi luhur untuk membangun masyarakat bersama-sama.

Sayangnya, ketamakan seringkali membutakan mata kita akan kekayaan tanah Indonesia. Kelimpahan tanah dianggap sebagai hak yang harus dikuasi pribadi, bukan sebagai kewajiban, amanah untuk diurus bagi kemaslahatan ramai orang. Saya merenung, mungkin banyak orang tamak di negara ini bisa insaf apabila kita semua seperti WR Supratman, sadar akan betapa kayanya negara ini: tidak perlu takut kalah, takut kurang, takut miskin — Indonesia kita sejatinya raya.

Bagian ketiga esai akan diunggah dalam 1–2 hari kerja…atau ketika penulis mendapatkan ilham.

--

--

Immanuela Asa Rahadini

I am interested in politics, Christianity, Southeast Asia, cultures. A mildly spicy person.